santri
Kamis, 23 Mei 2013
KERUNTUHAN BANI AHMAR/NASHR DI ANDALUSIA RI_SA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Granada mencapai puncak keemasannya di bawah pemerintahan Sultan Yusuf I Ibn Ismail I (733/1333-7551354) dan puteranya Muhammad V yang mendapat gelar al-Ghani Billah (755/1354-760-1359). Granada menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang islam yang melarikan diri dari serangan orang-orang kristen. Sepeninggal al-Ghani Billah, tidak ada lagi khalifah bani Ahmar yang setangguh para pendahulunya. Mereka lebih banyak tertarik untuk menikmati hasil jerih payah generasi sebelumnya, dan tidak tanggap pada setiap bahaya yang mengancam.
Mendekati detik-detik keruntuhannya, kerajaan Bani Ahmar dibagi menjadi dua, yang satu sama lain bermusuhan. Pertama kerajaan berada di Ibukota Granada dan diperintah oleh Abu Abdillah Muhammad Ali Abu al-Hasan al Nashri (Sultan Granada terakhir). Kerajaan yang satunya lagi berkedudukan di Wadi’ ‘Asy, di perintah oleh pamannya, Abu Abdillah Muhammad yaitu Muhammad XII yang mendapat julukan al-Zaghall. Bani Ahmar melemah dan tidak lagi berdaya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Mereka mulai mendapat kesulitan dan semakin terdesak. Karena terjadi perpecahan dari dalam dan adanya gerogotan dari luar, yaitu kekuatan Kristen yang terus meningkat untuk melawan kekuatan Islam di Negeri ini (Andalusia). Setelah melewati masa yang sangat panjang, sedikit demi sedikit kekuatan Islam dapat dipatahkan oleh kekuatan Kristen.
Upaya kerajaan Islam terakhir ini memperjuangkan pertahanannya dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang Kristen Spanyol selama dua setengah abad lebih, pada akhirnya Bani Ahmar dapat ditaklukkan dan Spanyol Kristen berhasil menguasai Granada yang berpegunungan itu. Hal lain yang menarik bahwa Bani Ahmar menjadi kerajaan Islam terakhir di Andalusia dan runtuh akibat ulah para pemimpinnya sendiri yang tidak dapat bersatu dalam mempertahankan kerajaannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa faktor penyebab runtuhnya Bani Ahmar?
2. Siapa Para Penguasa Bani Ahmar hingga runtuh?
3. Bagaimana Dampak Runtuhnya Bani Ahmar di Andalusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab runtuhnya Bani Ahmar
a. Perebutan Kekuasaan Antar Ahli Waris
Salah satu penyebab kerajaan islam terakhir di Granada ialah perebutan kekuasaaan yang tidak henti-hentinya dikalangan keluarga, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat diantara kalangan keluarga istana, baik itu berlaku curang atau dengan membunuh saingannya. Perebutan kekuasaaan antar keluarga kerajaan ini juga mulai terihat saat pemerintahan al Ghani Billah untuk pertama kalinya, karena sebelum al Ghani Billah berkuasa hingga tahun 1391M, ia sudah pernah berkuasa untuk pertama kali di Granada pada tahun 1354-1358M. Akan tetapi, karena usianya yang masih belia dan belum dewasa, maka dalam menjalankan pemerintahan diserahkan Panglima Besar Ridhwan dan Wazir Lisanuddin Al-Khatib di bawah pemerintahan dua tokoh ini terjadi kesewenang-wenangan, sehingga timbul pemberontakan dari saudaranya, Isma’il II pada tahun 1358M. Setelah dewasa, kemudian al Ghani Billah kembali berkuasa pada 1362 M hingga tahun 1391M dan mampu menata kembali suasana politik di Granada yang mulai nampak ricuh.
Kejayaan Bani Ahmar bertambah buruk setelah kematian Sultan al Ghani Billah pada 16 Januari 1391M pengganti-penggantinya dari Sultan yang lemah dan gagal mempertahankan kejayaan dalam menggabungkan diplomasi politik dan pengaturan militer. Kala itu juga mulai terjadi perebutan kekuasaan yang tidak henti-hentinya. Mereka lebih banyak tertarik untuk menikmati hasil jerih payah sebelumnya, dan tidak tanggap dengan bahaya yang setiap saat mengancam, baik dari luar maupun dari dalam. Ibnu Khaldun dalam teorinya mengatakan, bahwa kemakmuran yang telah dicapai pada masa keemasan cenderung menciptakan kebiasaan hidup mewah tanpa kerja keras. Sikap semacam ini melahirkan generasi berkualitas rendah, santai, dan lemah semangat. Akibatnya kejahatan dan kemerosotan moral merajalela dan melanda masyarakat, laksana penyakit kronis yang sulit disembuhkan.
Hal ini lah yang terjadi pada Bani Ahmar menjelang detik-detik keruntuhannya.meskipun Granada mengalami cobaan yang berat, berupa konflik internal dikalangan penguasa, bahkan sebagian keluarga kerajaan ada yang bekerja sama dengan penguasa kristen, serta fitnah dan pemberontakan terhadap raja-rajanya amoral dan tidak berkompeten, namun dalam berperang melawan Castille dan Aragon, Granada sering mendapatkan kemenangan.
Ancaman dari Kaum Kristen yang sudah lama ingin menghancurkan Negara-negara Islam termasuk Daulat Bani ahmar
Oleh karena itu pada tahun 898H = 1413M kekuasaan Daulat Bani Ahmar di Spanyol (Granada) jatuh ketangan raja Kristen dan berakhirlah kekuasaan Daulat Islam di Spanyol. Suatu hal yang perlu dipahami bahwa dengan beralihnya kekuasaan Islam kepada Kristen, maka punahlah panji-panji Islam di Spanyol.
Bahkan Umat Islam mengalami penindasan sehingga harus menerima Mahkamah Tafsis yaitu Pengadilan Darah, ketika menerima pengadilan daulat umat Islam disuruh memilih alternative yaitu :
a. Orang Islam harus masuk Kristen
b. Keluar dari Spanyol
c. Rela mati dibunuh oleh raja Kristen
Dampak dari pengadilan darah ini ialah Spanyol yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, hanya enjadi kenangan sejarah, bahkan umat Islam meninggalkan Spanyol untuk mencari penghidupan yang lebih aman.
b. Kecerobohan Para Sultan Terakhir Bani Ahmar
Keruntuhan Bani Ahmar di Granada dipercepat oleh kecerobohan Sultan ke 19 yaitu Abu al Hasan. Ia sebenarnya seorang figur pemimpin yang kuat dan berani, namun pandangannya sempit dan kurang perhitungan.
Ia menolak membayar upeti kepada penguasa Spanyol Kristen dimana pembayaran itu telah disepakati sejak Bani Ahmar berdiri. Penolakan pembayaran upeti dan perselisihan menjadi faktor yang dominan dalam mempercepat proses runtuhnya Bani Ahmar di Granada dari tangan kekuasaan Islam.
Sultan Abu al-Hasan menyulut permusuhan dengan menyerang wilayah Castille, sehingga tahun 1482 Ferdinand membuat kejutan dan merebut Emessa (suatu tempat di kaki pegunungan Sierra de-Alhama) dan menjaga jalan masuk sebelah barat daya yang mengarah ke Granada. Abu Abdillah anak Abu al-Hasan betindak ceroboh dengan menyerang kota Lucena yang termasuk wilayah Castile, tempat ia dikalahkan dan ditawan. Abu al-Hasan kemudian menduduki lagi tahta Granada, dan memerintah hingga 1485.
c. Keterpencilan
Letak Granada yang jauh dari Kerajaan Islam lainnya mengakibatkan tidak banyaknya dukungan yang didapatkan, kecuali dari Afrika Utara. Kitika itu Bani Ahmar bekerja sama dengan Bani Marin di Afrika Utara untuk tetap mempertahankan Islam di bumi Andalus. Bani Marin berusaha memberikan bantuan kepada Bani Ahmar di Granada, agar Islam bisa diselamatkan dari tangan orang-orang Kristen Spanyol, namun sisi lain Bani Main tetap menjalankan perluasan wilayah ke bagian timur Afrika Utara.
Dalam perjuangannya, Bani Marin juga kehabisan tenaga, sehingga posisinyapun terancam hancur. Selain bantuan dari Bani Marin di Afrika Utara, Bani Ahmar hanya dibantu oleh beberapa pasukan khusus kerajaan, karena dua kerajaan yaitu Castile dan Aragon selalu menyulut api fitnah dalam keluarga kerajaan.
d. Unifikasi dan Inkuisisi Kerajaan Kristen Spanyol
Pada abad ketiga belas banyak orang-orang Islam di seluruh Spanyol sudah menjadi penduduk yang takluk pada penguasa Kristen, namun mereka masih diizinkan untuk memakai hukum-hukumnya sendiri (Islam) dan masih tetap berada dalam agama Islam. Orang-orang Islam demikian ini disebut dengan Mudejar. Oleh karena proses sejarah, maka orang-orang mudejar ini akhirnya lupa bahas arab dan sedikit banyak sudah terpengaruhi oleh kehidupan Kristen.
Unifikasi Spanyol memang lamban, namun berjalan dengan pasti. Pada tahun 1469 terjadi perkawinan antara Ferdinand Raja Aragon dengan Isabella Ratu Castille. Ketika Raja Castille wafat 1474, Isabella dan Ferdinand menggantikannya sebagai penguasa bersama. Lima tahun kemudian, Ferdinand mewarisi Aragon, dan menjadikan Isabella sebagai penguasa bersama di Aragon juga. Perkawinan itu berarti menyatukan dua kerajaan untuk selamanya dan hal ini merupakan pertanda yang tidak baik bagi nasib kekuasaan umat Islam di Andalusia. Dengan bersatunya dua kerajaan Kristen tersebut, maka kerajaan Kristen akan semakin kuat dan semakin besar peluangnya untuk merebut Granada. Para Sultan terakhir Bani Ahmar tidak dapat mengatasi bahaya yang semakin besar ini.
Pada tahun 1487 Ferdinand dan Isabella dapat merebut Malaga, tahun 1489 M menguasai Almeria dan tahun 1492 M adalah Granada.
Unifikasi tersebut disusul dengan berdirinya inkuisisi Spanyol tahun 1483. Sebenarnya inkuisisi initelah ada pada abad pertengahan tahun 1238 dan hanya beroperasi di Aragon saja. Tahun 1483, Ferdinand memperluas aktifitas lembaga ini ke seluruh Spanyol. Pengadilan inkuisisi ini diberi wilayah kewenangan yang mencakup seluruh Spanyol.
e. Adanya Politik Adu Domba
Salah satu sebab runuhnya Bani Ahmar adalah karena adanya politik adu domba yang diterapkan oleh Kristen Spanyol untuk mencegah belah persatuan umat Islam. Banyak Amir yang meminta bantuan pada penguasa Kristen dalam melakukan perang sesama muslim. Hal ini justru dimanfaatkan oleh Kristen untuk melumpuhkan kekuatan kedua belah pihak. Politik adu domba itu terjadi pada pemerintahan Sultan Abu al-Hasan, ketika anaknya yang bernama Muhammad ‘Abdillah tidak terima dengan perlakuan ayahnya yang pilih kasih, dan menyerahkan tahtanya pada al-Zaghall sepupunya.
Untuk menggulingkan posisi ayahnya tersebut Abu ‘Abdillah bersekutu dengan pihal Kristen Spanyol agar bisa membantunya merebut tahta di Granada. Akhirnya dengan bantuan satu pasukan dari Kristen, Abu ‘Abdillah berhsil menduduki tahta di Granada menjadikan dirinya raja di sana.
B. Para Penguasa Bani Ahmar
Berikut ini nama – nama penguasa Bani Ahmar di Spanyol:
1. Muhammad I Al-Ghalib disebut juga Ibn Ahmar 1230 – 1272,
2. Muhammad II Al-Faqih 1272-1302,
3. Muhammad III Al-Makhlu’ 1302-1308,
4. Nashr 1308-1313,
5. Ismail I 1313-1325,
6. Muhammad IV 1325-1333, Yusuf I 1333-1354,
7. Muhammad V Al-Ghani ke 1 1354-1359,
8. Ismail II 1359-1360, Muhammad VI 1360-1362,
9. Muhammad V Al-Ghani ke 2 1362-1391,
10. Yusuf II 1391-1395,
11. Muhammad VII Al-Musta’in 1395-1407,
12. Yusuf III 1407,
13. Muhammad VIII Al-Mutamassik ke 1 1407-1419,
14. Muhammad IX Al-Shagir ke 1 1419-1427,
15. Muhammad VIII Al-Mutamassik ke 2 1427-1430,
16. Muhammad IX Al-Shagir ke 2 1430-1432,
17. Yusuf IV 1432,
18. Muhammad IX Al-Shagir ke 3 1432-1445,
19. Muhammad X Al-Ahnaf ke 1 1445,
20. Yusuf V ke 1 1445,
21. Muhammad X Al-Ahnaf ke 2 1446 – 1447,
22. Muhammad IX Al-Shagir ke 4 1447-1451,
23. Muhammad XI 1451-1453,
24. Sa’ad Al- Musta’in ke 1 1453-1462,
25. Yusuf V ke 2 1462,
26. Sa’ad Al- Musta’in ke 2 1462-1464,
27. Abu al-Hasan Ali, dikenali sebagai Muley Abu al-Hassan (1464-1482, 1483-1485)
28. Abu 'Abd Allah Muhammad XII, dikenali sebagai Boabdil (1482-1483, 1486-1492)
29. Abū `Abd Allāh Muhammad XIII, dikenali sebagai al-Zagal (1485-1486)
Tapi raja Muhammad XI ini tidak terkenal dalam pemerintahannya yang ke 2 sebagai raja Bani Ahmar yang terakhir karena memerintah selama beberapa bulan saja, sebelum akhirnya di taklukan oleh pengikut-pengikut Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella pada tanggal 2 Januari 1492. Berakhirlah masa kekuasaan Islam di Spanyol.
C. Dampak Runtuhnya Bani Ahmar di Andalusia
Dampak Politik dan Ekonomi
Sejak penghujung abad ke- 15 masehi muncul dua kekuasaan maritim baru di dunia yaitu Portugal dan Spanyol. Mereka menjadi penguasa Kristen yang saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan. Persaingan itu makin memuncak setelah runtuhnya Bani Ahmar, dan membawa dampak politik yang sangat mencolok di Andalusia. Sekitar tahun 1494 M terjadi perebutan kekuasaan wilayah pesisir Barat Afrika antara Kerajaan Kristen Portugis dan Spanyol itu.
Agar konflik itu tidak berlarut-larut antar kedua kekuasaan Katholik tersebut, Paus Alexander VI (1492-1503 M) dari Vatikan berusaha menengahi konflik tersebut.
Dari segi ekonomi setelah runtuhnya Bani Ahmar memang tidak teratur lagi. Meski dari segi ekonomi terlihat morat-marit dan tidak menentu, namun warga Morisco yang masih tersisa, baik yang di Spanyol maupun diluar Spanyol tetap berusaha bertahan hidup dengan makan yang seadanya. Bahkan dalam keadaan perekonomiannya yang berantakan itu, mereka masih mempertahankan perekonomiannya. Warga Morisco dikenal dengan cara kerjanya yang tekun, berbeda dengan Kristen Spanyol yang hidup di masa mereka. Pada tanggal 12 September 1502 M dikeluarkan dekrit kerajaan, yang isinya melarang kaum Muslimin menjual harta bendanya sebelum dua tahun. Mereka hanya diperbolehkan meninggalkan Castilia dan mengungsi ke Aragon dan Portugis.
Mengenai keputusan Kerajaan ini lebih lanjut dijelaskan pada dampak sosial, karena apa yang dilakukan oleh penguasa Kristen terhadap orang-orang Islam yang tersisa sangat erat kaitannya dengan dampak sosial. Menurut pendataan para sejarawan, sebanyak kurang lebih tiga juta kaum Muslimin dibantai, dibakar hidup-hidup, disiksa secara kejam, setelah jatuhnya Granada. Kaum Muslimin menjadi berantakan, sehingga pertanian, perindustrian dan perdagangan hancur lebur karena ditinggal para ahlinya.
Dampak Sosial
Setelah runtuhnya Bani Ahmar, tidak ada lagi kerajaan Islam yang berkuasa di Andalusia, akan tetapi masih tersisa orang-orang Islam yang tinggal disana disebut dengan Morisco. Beberapa saat sebelum Bani Ahmar menyerahkan Granada ke tangan penguasa Kristen, terdapat kesepakatan antara kerajaan Islam dan Kristen. Dalam beberapa tahun setelah runtuhnya Bani Ahmar, memang tercipta kedamaian yang relatif di negeri itu antara orang Morisco dan Kristen Spanyol.
Dilain pihak, Hernando de Tavalera uskup besar Granada yang baru berusaha untuk membuat orang-orang Morisco berpindah agama dengan cara damai. Meskipun demikian, usahakan tidak membuahkan hasil karena mereka tidak mau pindah agama. Merasa usahanya tidak berhasil, akhirnya satu-persatu perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dilanggar sendiri oleh pihak Gereja.
Pada awal tahun 1501 M, dikeluarkan dekrit Kerajaan yang bersembunyi, bahwa semua Muslim di Castille dan Leon harus memeluk agama Kristen, atau kalau tidak mereka harus meninggalkan Spanyol. Dengan demikian, komunitas Muslim di Spanyol berhasil diceraiberaikan dalam waktu yang sangat singkat, dan pemberontakan yang sempat dilakukan kaum Muslim di Granada.
Operasi kedua dilancarkan di Granada dan menyebar sampai ke wilayah pegunungan di sekitarnya, tetapi kemudian dihentikan. Perintah pengusiran terakhir ditandatangani oleh Phillip III pada tahun 1609 M, yang mengakibatkan deportase en masse secara paksa atau hampir semua Muslim di dataran Spanyol di usir.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan yaitu:
Pertama, sekitar tahun 1391 M pada akhir masa kekuasaan Sultan al Ghani Billah, kondisi Bani Ahmar mulai tidak stabil. Ketika itu tidak ada lagi khalifat Bani Ahmar yang cakap dan setangguh para pendahulunya. Mereka lebih tertarik untuk menikmati hasil jerih payah para pendahulunya tersebut, karena mereka sudah puas dengan apa yang mereka dapatkan.
Kedua, walau begitu banyak para penguasa Bani Ahmar namun tidak mempunyai kecakapan dalam menjalankan tugasnya sebagai penguasa sehingga pada penguasa terakhir di taklukkan oleh para pengikut-pengikut Raja Ferdinand.
Ketiga, Setelah Bani Ahmar menyerah terjadi perubahan dan dampak yang sangat besar di Andalusia khususnya Granada baik dalam bidang politik ekonomi, sosial maupun lainnya. Namun bukan hanya itu, runtuhnya Bani Ahmar pula membawa dampak buruk bagi peradaban di Andalusia. Buku-buku yang terkait dengan Islam di tarik dan dibakar oleh Gereja, Banyak Ilmuwan yang ditawan dan di Manfaatkan untuk menterjemahkan buku-buku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Philip K. Hitti,History of The Arabs; From The Earliest Times to The Present trj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi,(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,2010)
Muin Umar, Islam di Spanyol, (Yogyakarta: IAIN, 1975)
Himayah. Kebangkitan Islam
Malik. “Granada”
Zulkarnaini.blogspot.com. ISLAM DI ANDALUSIA (SPANYOL)
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 1979), hlm 402.
//id.wikipedia.org Umar, Islam di Spanyol, hlm. 42.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2003), hlm. 122-123.
Thomson dan ‘Ata ‘Ur Rahim, Islam Andalusia, hlm. 145-146.
Bosworth. C.E, The Islamic Dynasties, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan 1993), hal 39-40
Sou’yb, Kekuasaan Islam, hlm. 262.
Muhammad Ali Quthub, Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia, Terj. Musthafa Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1990), hlm. 43.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Granada mencapai puncak keemasannya di bawah pemerintahan Sultan Yusuf I Ibn Ismail I (733/1333-7551354) dan puteranya Muhammad V yang mendapat gelar al-Ghani Billah (755/1354-760-1359). Granada menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang islam yang melarikan diri dari serangan orang-orang kristen. Sepeninggal al-Ghani Billah, tidak ada lagi khalifah bani Ahmar yang setangguh para pendahulunya. Mereka lebih banyak tertarik untuk menikmati hasil jerih payah generasi sebelumnya, dan tidak tanggap pada setiap bahaya yang mengancam.
Mendekati detik-detik keruntuhannya, kerajaan Bani Ahmar dibagi menjadi dua, yang satu sama lain bermusuhan. Pertama kerajaan berada di Ibukota Granada dan diperintah oleh Abu Abdillah Muhammad Ali Abu al-Hasan al Nashri (Sultan Granada terakhir). Kerajaan yang satunya lagi berkedudukan di Wadi’ ‘Asy, di perintah oleh pamannya, Abu Abdillah Muhammad yaitu Muhammad XII yang mendapat julukan al-Zaghall. Bani Ahmar melemah dan tidak lagi berdaya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Mereka mulai mendapat kesulitan dan semakin terdesak. Karena terjadi perpecahan dari dalam dan adanya gerogotan dari luar, yaitu kekuatan Kristen yang terus meningkat untuk melawan kekuatan Islam di Negeri ini (Andalusia). Setelah melewati masa yang sangat panjang, sedikit demi sedikit kekuatan Islam dapat dipatahkan oleh kekuatan Kristen.
Upaya kerajaan Islam terakhir ini memperjuangkan pertahanannya dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang Kristen Spanyol selama dua setengah abad lebih, pada akhirnya Bani Ahmar dapat ditaklukkan dan Spanyol Kristen berhasil menguasai Granada yang berpegunungan itu. Hal lain yang menarik bahwa Bani Ahmar menjadi kerajaan Islam terakhir di Andalusia dan runtuh akibat ulah para pemimpinnya sendiri yang tidak dapat bersatu dalam mempertahankan kerajaannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa faktor penyebab runtuhnya Bani Ahmar?
2. Siapa Para Penguasa Bani Ahmar hingga runtuh?
3. Bagaimana Dampak Runtuhnya Bani Ahmar di Andalusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab runtuhnya Bani Ahmar
a. Perebutan Kekuasaan Antar Ahli Waris
Salah satu penyebab kerajaan islam terakhir di Granada ialah perebutan kekuasaaan yang tidak henti-hentinya dikalangan keluarga, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat diantara kalangan keluarga istana, baik itu berlaku curang atau dengan membunuh saingannya. Perebutan kekuasaaan antar keluarga kerajaan ini juga mulai terihat saat pemerintahan al Ghani Billah untuk pertama kalinya, karena sebelum al Ghani Billah berkuasa hingga tahun 1391M, ia sudah pernah berkuasa untuk pertama kali di Granada pada tahun 1354-1358M. Akan tetapi, karena usianya yang masih belia dan belum dewasa, maka dalam menjalankan pemerintahan diserahkan Panglima Besar Ridhwan dan Wazir Lisanuddin Al-Khatib di bawah pemerintahan dua tokoh ini terjadi kesewenang-wenangan, sehingga timbul pemberontakan dari saudaranya, Isma’il II pada tahun 1358M. Setelah dewasa, kemudian al Ghani Billah kembali berkuasa pada 1362 M hingga tahun 1391M dan mampu menata kembali suasana politik di Granada yang mulai nampak ricuh.
Kejayaan Bani Ahmar bertambah buruk setelah kematian Sultan al Ghani Billah pada 16 Januari 1391M pengganti-penggantinya dari Sultan yang lemah dan gagal mempertahankan kejayaan dalam menggabungkan diplomasi politik dan pengaturan militer. Kala itu juga mulai terjadi perebutan kekuasaan yang tidak henti-hentinya. Mereka lebih banyak tertarik untuk menikmati hasil jerih payah sebelumnya, dan tidak tanggap dengan bahaya yang setiap saat mengancam, baik dari luar maupun dari dalam. Ibnu Khaldun dalam teorinya mengatakan, bahwa kemakmuran yang telah dicapai pada masa keemasan cenderung menciptakan kebiasaan hidup mewah tanpa kerja keras. Sikap semacam ini melahirkan generasi berkualitas rendah, santai, dan lemah semangat. Akibatnya kejahatan dan kemerosotan moral merajalela dan melanda masyarakat, laksana penyakit kronis yang sulit disembuhkan.
Hal ini lah yang terjadi pada Bani Ahmar menjelang detik-detik keruntuhannya.meskipun Granada mengalami cobaan yang berat, berupa konflik internal dikalangan penguasa, bahkan sebagian keluarga kerajaan ada yang bekerja sama dengan penguasa kristen, serta fitnah dan pemberontakan terhadap raja-rajanya amoral dan tidak berkompeten, namun dalam berperang melawan Castille dan Aragon, Granada sering mendapatkan kemenangan.
Ancaman dari Kaum Kristen yang sudah lama ingin menghancurkan Negara-negara Islam termasuk Daulat Bani ahmar
Oleh karena itu pada tahun 898H = 1413M kekuasaan Daulat Bani Ahmar di Spanyol (Granada) jatuh ketangan raja Kristen dan berakhirlah kekuasaan Daulat Islam di Spanyol. Suatu hal yang perlu dipahami bahwa dengan beralihnya kekuasaan Islam kepada Kristen, maka punahlah panji-panji Islam di Spanyol.
Bahkan Umat Islam mengalami penindasan sehingga harus menerima Mahkamah Tafsis yaitu Pengadilan Darah, ketika menerima pengadilan daulat umat Islam disuruh memilih alternative yaitu :
a. Orang Islam harus masuk Kristen
b. Keluar dari Spanyol
c. Rela mati dibunuh oleh raja Kristen
Dampak dari pengadilan darah ini ialah Spanyol yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, hanya enjadi kenangan sejarah, bahkan umat Islam meninggalkan Spanyol untuk mencari penghidupan yang lebih aman.
b. Kecerobohan Para Sultan Terakhir Bani Ahmar
Keruntuhan Bani Ahmar di Granada dipercepat oleh kecerobohan Sultan ke 19 yaitu Abu al Hasan. Ia sebenarnya seorang figur pemimpin yang kuat dan berani, namun pandangannya sempit dan kurang perhitungan.
Ia menolak membayar upeti kepada penguasa Spanyol Kristen dimana pembayaran itu telah disepakati sejak Bani Ahmar berdiri. Penolakan pembayaran upeti dan perselisihan menjadi faktor yang dominan dalam mempercepat proses runtuhnya Bani Ahmar di Granada dari tangan kekuasaan Islam.
Sultan Abu al-Hasan menyulut permusuhan dengan menyerang wilayah Castille, sehingga tahun 1482 Ferdinand membuat kejutan dan merebut Emessa (suatu tempat di kaki pegunungan Sierra de-Alhama) dan menjaga jalan masuk sebelah barat daya yang mengarah ke Granada. Abu Abdillah anak Abu al-Hasan betindak ceroboh dengan menyerang kota Lucena yang termasuk wilayah Castile, tempat ia dikalahkan dan ditawan. Abu al-Hasan kemudian menduduki lagi tahta Granada, dan memerintah hingga 1485.
c. Keterpencilan
Letak Granada yang jauh dari Kerajaan Islam lainnya mengakibatkan tidak banyaknya dukungan yang didapatkan, kecuali dari Afrika Utara. Kitika itu Bani Ahmar bekerja sama dengan Bani Marin di Afrika Utara untuk tetap mempertahankan Islam di bumi Andalus. Bani Marin berusaha memberikan bantuan kepada Bani Ahmar di Granada, agar Islam bisa diselamatkan dari tangan orang-orang Kristen Spanyol, namun sisi lain Bani Main tetap menjalankan perluasan wilayah ke bagian timur Afrika Utara.
Dalam perjuangannya, Bani Marin juga kehabisan tenaga, sehingga posisinyapun terancam hancur. Selain bantuan dari Bani Marin di Afrika Utara, Bani Ahmar hanya dibantu oleh beberapa pasukan khusus kerajaan, karena dua kerajaan yaitu Castile dan Aragon selalu menyulut api fitnah dalam keluarga kerajaan.
d. Unifikasi dan Inkuisisi Kerajaan Kristen Spanyol
Pada abad ketiga belas banyak orang-orang Islam di seluruh Spanyol sudah menjadi penduduk yang takluk pada penguasa Kristen, namun mereka masih diizinkan untuk memakai hukum-hukumnya sendiri (Islam) dan masih tetap berada dalam agama Islam. Orang-orang Islam demikian ini disebut dengan Mudejar. Oleh karena proses sejarah, maka orang-orang mudejar ini akhirnya lupa bahas arab dan sedikit banyak sudah terpengaruhi oleh kehidupan Kristen.
Unifikasi Spanyol memang lamban, namun berjalan dengan pasti. Pada tahun 1469 terjadi perkawinan antara Ferdinand Raja Aragon dengan Isabella Ratu Castille. Ketika Raja Castille wafat 1474, Isabella dan Ferdinand menggantikannya sebagai penguasa bersama. Lima tahun kemudian, Ferdinand mewarisi Aragon, dan menjadikan Isabella sebagai penguasa bersama di Aragon juga. Perkawinan itu berarti menyatukan dua kerajaan untuk selamanya dan hal ini merupakan pertanda yang tidak baik bagi nasib kekuasaan umat Islam di Andalusia. Dengan bersatunya dua kerajaan Kristen tersebut, maka kerajaan Kristen akan semakin kuat dan semakin besar peluangnya untuk merebut Granada. Para Sultan terakhir Bani Ahmar tidak dapat mengatasi bahaya yang semakin besar ini.
Pada tahun 1487 Ferdinand dan Isabella dapat merebut Malaga, tahun 1489 M menguasai Almeria dan tahun 1492 M adalah Granada.
Unifikasi tersebut disusul dengan berdirinya inkuisisi Spanyol tahun 1483. Sebenarnya inkuisisi initelah ada pada abad pertengahan tahun 1238 dan hanya beroperasi di Aragon saja. Tahun 1483, Ferdinand memperluas aktifitas lembaga ini ke seluruh Spanyol. Pengadilan inkuisisi ini diberi wilayah kewenangan yang mencakup seluruh Spanyol.
e. Adanya Politik Adu Domba
Salah satu sebab runuhnya Bani Ahmar adalah karena adanya politik adu domba yang diterapkan oleh Kristen Spanyol untuk mencegah belah persatuan umat Islam. Banyak Amir yang meminta bantuan pada penguasa Kristen dalam melakukan perang sesama muslim. Hal ini justru dimanfaatkan oleh Kristen untuk melumpuhkan kekuatan kedua belah pihak. Politik adu domba itu terjadi pada pemerintahan Sultan Abu al-Hasan, ketika anaknya yang bernama Muhammad ‘Abdillah tidak terima dengan perlakuan ayahnya yang pilih kasih, dan menyerahkan tahtanya pada al-Zaghall sepupunya.
Untuk menggulingkan posisi ayahnya tersebut Abu ‘Abdillah bersekutu dengan pihal Kristen Spanyol agar bisa membantunya merebut tahta di Granada. Akhirnya dengan bantuan satu pasukan dari Kristen, Abu ‘Abdillah berhsil menduduki tahta di Granada menjadikan dirinya raja di sana.
B. Para Penguasa Bani Ahmar
Berikut ini nama – nama penguasa Bani Ahmar di Spanyol:
1. Muhammad I Al-Ghalib disebut juga Ibn Ahmar 1230 – 1272,
2. Muhammad II Al-Faqih 1272-1302,
3. Muhammad III Al-Makhlu’ 1302-1308,
4. Nashr 1308-1313,
5. Ismail I 1313-1325,
6. Muhammad IV 1325-1333, Yusuf I 1333-1354,
7. Muhammad V Al-Ghani ke 1 1354-1359,
8. Ismail II 1359-1360, Muhammad VI 1360-1362,
9. Muhammad V Al-Ghani ke 2 1362-1391,
10. Yusuf II 1391-1395,
11. Muhammad VII Al-Musta’in 1395-1407,
12. Yusuf III 1407,
13. Muhammad VIII Al-Mutamassik ke 1 1407-1419,
14. Muhammad IX Al-Shagir ke 1 1419-1427,
15. Muhammad VIII Al-Mutamassik ke 2 1427-1430,
16. Muhammad IX Al-Shagir ke 2 1430-1432,
17. Yusuf IV 1432,
18. Muhammad IX Al-Shagir ke 3 1432-1445,
19. Muhammad X Al-Ahnaf ke 1 1445,
20. Yusuf V ke 1 1445,
21. Muhammad X Al-Ahnaf ke 2 1446 – 1447,
22. Muhammad IX Al-Shagir ke 4 1447-1451,
23. Muhammad XI 1451-1453,
24. Sa’ad Al- Musta’in ke 1 1453-1462,
25. Yusuf V ke 2 1462,
26. Sa’ad Al- Musta’in ke 2 1462-1464,
27. Abu al-Hasan Ali, dikenali sebagai Muley Abu al-Hassan (1464-1482, 1483-1485)
28. Abu 'Abd Allah Muhammad XII, dikenali sebagai Boabdil (1482-1483, 1486-1492)
29. Abū `Abd Allāh Muhammad XIII, dikenali sebagai al-Zagal (1485-1486)
Tapi raja Muhammad XI ini tidak terkenal dalam pemerintahannya yang ke 2 sebagai raja Bani Ahmar yang terakhir karena memerintah selama beberapa bulan saja, sebelum akhirnya di taklukan oleh pengikut-pengikut Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella pada tanggal 2 Januari 1492. Berakhirlah masa kekuasaan Islam di Spanyol.
C. Dampak Runtuhnya Bani Ahmar di Andalusia
Dampak Politik dan Ekonomi
Sejak penghujung abad ke- 15 masehi muncul dua kekuasaan maritim baru di dunia yaitu Portugal dan Spanyol. Mereka menjadi penguasa Kristen yang saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan. Persaingan itu makin memuncak setelah runtuhnya Bani Ahmar, dan membawa dampak politik yang sangat mencolok di Andalusia. Sekitar tahun 1494 M terjadi perebutan kekuasaan wilayah pesisir Barat Afrika antara Kerajaan Kristen Portugis dan Spanyol itu.
Agar konflik itu tidak berlarut-larut antar kedua kekuasaan Katholik tersebut, Paus Alexander VI (1492-1503 M) dari Vatikan berusaha menengahi konflik tersebut.
Dari segi ekonomi setelah runtuhnya Bani Ahmar memang tidak teratur lagi. Meski dari segi ekonomi terlihat morat-marit dan tidak menentu, namun warga Morisco yang masih tersisa, baik yang di Spanyol maupun diluar Spanyol tetap berusaha bertahan hidup dengan makan yang seadanya. Bahkan dalam keadaan perekonomiannya yang berantakan itu, mereka masih mempertahankan perekonomiannya. Warga Morisco dikenal dengan cara kerjanya yang tekun, berbeda dengan Kristen Spanyol yang hidup di masa mereka. Pada tanggal 12 September 1502 M dikeluarkan dekrit kerajaan, yang isinya melarang kaum Muslimin menjual harta bendanya sebelum dua tahun. Mereka hanya diperbolehkan meninggalkan Castilia dan mengungsi ke Aragon dan Portugis.
Mengenai keputusan Kerajaan ini lebih lanjut dijelaskan pada dampak sosial, karena apa yang dilakukan oleh penguasa Kristen terhadap orang-orang Islam yang tersisa sangat erat kaitannya dengan dampak sosial. Menurut pendataan para sejarawan, sebanyak kurang lebih tiga juta kaum Muslimin dibantai, dibakar hidup-hidup, disiksa secara kejam, setelah jatuhnya Granada. Kaum Muslimin menjadi berantakan, sehingga pertanian, perindustrian dan perdagangan hancur lebur karena ditinggal para ahlinya.
Dampak Sosial
Setelah runtuhnya Bani Ahmar, tidak ada lagi kerajaan Islam yang berkuasa di Andalusia, akan tetapi masih tersisa orang-orang Islam yang tinggal disana disebut dengan Morisco. Beberapa saat sebelum Bani Ahmar menyerahkan Granada ke tangan penguasa Kristen, terdapat kesepakatan antara kerajaan Islam dan Kristen. Dalam beberapa tahun setelah runtuhnya Bani Ahmar, memang tercipta kedamaian yang relatif di negeri itu antara orang Morisco dan Kristen Spanyol.
Dilain pihak, Hernando de Tavalera uskup besar Granada yang baru berusaha untuk membuat orang-orang Morisco berpindah agama dengan cara damai. Meskipun demikian, usahakan tidak membuahkan hasil karena mereka tidak mau pindah agama. Merasa usahanya tidak berhasil, akhirnya satu-persatu perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dilanggar sendiri oleh pihak Gereja.
Pada awal tahun 1501 M, dikeluarkan dekrit Kerajaan yang bersembunyi, bahwa semua Muslim di Castille dan Leon harus memeluk agama Kristen, atau kalau tidak mereka harus meninggalkan Spanyol. Dengan demikian, komunitas Muslim di Spanyol berhasil diceraiberaikan dalam waktu yang sangat singkat, dan pemberontakan yang sempat dilakukan kaum Muslim di Granada.
Operasi kedua dilancarkan di Granada dan menyebar sampai ke wilayah pegunungan di sekitarnya, tetapi kemudian dihentikan. Perintah pengusiran terakhir ditandatangani oleh Phillip III pada tahun 1609 M, yang mengakibatkan deportase en masse secara paksa atau hampir semua Muslim di dataran Spanyol di usir.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan yaitu:
Pertama, sekitar tahun 1391 M pada akhir masa kekuasaan Sultan al Ghani Billah, kondisi Bani Ahmar mulai tidak stabil. Ketika itu tidak ada lagi khalifat Bani Ahmar yang cakap dan setangguh para pendahulunya. Mereka lebih tertarik untuk menikmati hasil jerih payah para pendahulunya tersebut, karena mereka sudah puas dengan apa yang mereka dapatkan.
Kedua, walau begitu banyak para penguasa Bani Ahmar namun tidak mempunyai kecakapan dalam menjalankan tugasnya sebagai penguasa sehingga pada penguasa terakhir di taklukkan oleh para pengikut-pengikut Raja Ferdinand.
Ketiga, Setelah Bani Ahmar menyerah terjadi perubahan dan dampak yang sangat besar di Andalusia khususnya Granada baik dalam bidang politik ekonomi, sosial maupun lainnya. Namun bukan hanya itu, runtuhnya Bani Ahmar pula membawa dampak buruk bagi peradaban di Andalusia. Buku-buku yang terkait dengan Islam di tarik dan dibakar oleh Gereja, Banyak Ilmuwan yang ditawan dan di Manfaatkan untuk menterjemahkan buku-buku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Philip K. Hitti,History of The Arabs; From The Earliest Times to The Present trj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi,(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,2010)
Muin Umar, Islam di Spanyol, (Yogyakarta: IAIN, 1975)
Himayah. Kebangkitan Islam
Malik. “Granada”
Zulkarnaini.blogspot.com. ISLAM DI ANDALUSIA (SPANYOL)
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 1979), hlm 402.
//id.wikipedia.org Umar, Islam di Spanyol, hlm. 42.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2003), hlm. 122-123.
Thomson dan ‘Ata ‘Ur Rahim, Islam Andalusia, hlm. 145-146.
Bosworth. C.E, The Islamic Dynasties, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan 1993), hal 39-40
Sou’yb, Kekuasaan Islam, hlm. 262.
Muhammad Ali Quthub, Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia, Terj. Musthafa Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1990), hlm. 43.
Kamis, 16 Mei 2013
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM MASA DINASTI UMAYYAH TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
Islam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw
adalah agama perdamaian yang mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dimulai
dari perjuangan Nabi Muhammad pada
periode Makkah dan Madinah. Kemudian setelah Rosulullah wafat, dilanjutkan oleh
para Khulafaur Rasyidin yakni para pengganti Rosulullah yang terdiri dari empat
Khalifah yaitu Abu Bakkar Asyidiq, Umar Bin Khottob, Usman bin Affan dan Ali
bin Abi Tholib. Begitu pula setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir yang kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Dinasti
Umayyah. Dalam makalah ini akan kita bahas dari beberapa aspek dari Dinasti Umayyah ini, dari sejarah
berdirinya, perkembangannya, kejayaannya, hingga keruntuhan, serta faktor-faktor penyebab keruntuhan dan
kejayaan, dan hasil kebudayaan Islam yang telah menjadi peninggalan dari
Dinasti ini..
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
BERDIRINYA DINASTI UMAYYAH
Bani Umayyah
adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, yakni keturunan dari Umayyah ibn
Abdi Syams ibn Abdi Manaf yang merupakan seorang pemimpin suku Quraisy
terpandang. Umayyah bersaing dengan pamannya Hasyim bin ‘abdi Manaf dalam
merebutkan kehormatan dan kepemimpinan masyarakat Quraisy. Namun dalam hal ini,
Umayyah dipandang lebih dominan karena telah memenuhi persyaratan untuk menjadi
pemimpin dan dihormati, karena
Umayyah
berasal dari golongan bangsawan kaya. Padahal
harta dan kekayaan menjadi faktor dominan untuk merebut hati dikalangan suku
Quraisy, sehingga Hasyim tidak dapat mengimbangi keponakannya tersebut.[1]
Sebagian
besar keluarga bsni Umayyah menentang Nabi Muhammad Saw yang membawa ajaran Islam,
setelah Nabi muhammad pindah dari Makkah ke Madinah dan berhasil mendapatkan
pengikut dikota tersebut, permusuhan dikalangan bani Umayyah belum berakhir.
Mereka memimpin orang Quraisy Mekkah untuk menentang dan memerangi Nabi Saw dan
pengikutnya. Peperangan pun terjadi beberapa kali, namun mereka tidak dapat
mengalahkan Nabi Saw.
Permusuhan
bani Umayyah berakhir setelah Nabi Muhammad Saw berhasil masuk ke Mekkah.
Merasa tidak mampu melawan akhirnya bani Umayyah menyerah kepada Nabi Muhammad
dan bersedia masuk Islam.
Sepeninggal
Rasulullah sesungguhnya bani Umayyah menginginkan jabatan sebagai Khalifah,
namun mereka belum berani menampakkan cita-citanya pada masa Abu Bakkar dan
Umar. Setelah Umar meninggal, secara terang-terangan Bani Umayyah menyokong
pencalonan Usman sehingga Usman terpilih. Sejak saat itu Umayyah meletakkan
dasar-dasr untuk menegakkan Khalifah Umayyah pada masa Khalifah usman.
Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat diri dan menyiapkan
daerah kekuasaannya di Syam kemudian hari.[2]
Ketika
Ali bin Abu Tolib menggantikan jabatan Usman, Mu’awiyah selaku gubernur Syam
membentuk partai yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah Ali. Dia
mendesak untuk membalas kematian usman atau kalau tidak dia akan menyerang
kedudukannya. Desakan dan ancaman Mi’awiyah tersebut memiicu terjadinya perang
Syiffiin. Dalam pertempuran ini Mu’awiyah hampir saja kalah, namun amr bin ash
menasehati pasukannya agar mereka mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur’an sebagai
tanda bahwa mereka menginginkan perdamaian. Ali juga m,enasehati pasukannya
agar tidak tertipu dan tetap meneruskan peperangan, namun malah terjadi
perpecahan diantara mereka. Akhirnya Ali menghentikan peperangan dan berjanji
menerima Tafkhim. [3]
peristiwa takhim yang sangat merugikan Ali, mengakibatkan pengikut Ali yang
ingkar.
Oleh
karena alasan diatas maka umat Islam terbagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bani
Umayyah dipimpin oleh Mu’awiya bin Abu Sufyan.
2. Golongan
Syi’ah atau pendukung ali
3. Serta
Golongan Khawarij, yang menentang kedua partai
Semenjak
kematian Ali bi Abi Thalib, kekuasaan Islam sedikit memiliki maslah. Masalah
ini menyangkut siapa yang akan menjadi Khalifah setelahnya. Sebagian masyarakat
menghendaki putra Ali menduduki jabatan Khalifah, tetapi sebagian orang
menginginkan Mu’awiyah yang duduk sebagai pemerintah. Di sisi lain masyarakat
mulai membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah, disamping Muawiyah yang terus
bergerilya merongrong pembaiatan Hasan. Oleh sebab itu, setelah hampir tiga
tahun memegang jabatannya, Hasan memutuskan meninggalkan jabatan dengan alasan
ntidak ingin mdlihat umat Islam terpecah belah. Hasan meletakkan jabatannya dan
menyerahkan panji kekhalihfahan ke tangan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, peristiwa
ini dilaksanakan di Daumatul Jandal, tahun pelaksanaannya terkenal sebagai
peristiwa Am’ul Jama’ah (tahun persatuan), yang menghasilkan beberapa
pperjanjian penting antara Mu’awiyah dan Hasan, semenjak itulah Mu’awiyah dan
Bani Umayyah mulai memegang tampuk pemerintahan Dunia Islam.
B.
PERKEMBANGAN
DINASTI UMAYYAH
Kekuasaan
bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara dipindahkan
Mu’awiyah Dari Madinah ke Damaskus, tempat is berkuasa sebagai Gubernur
sebelumnya. Khalifah-khalifah besar Dinasti Umayyah adalah Mu’awiyah bin Abu
Sufyan (661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan
(685-705 M), Al-Walid ibn Abdul Malik
(705-715 M), Umar bin Abd Al- Aziz (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd
Al-Malik(724-743 M).[4]
Pada masanya Dinasti ini telah dipimpin oleh 14 orang Khalifah secara
bergantian, dengan Khalifah-khalifah yang unggul seperti telah disebutkan di
atas.
Pada
masa itu Mu’awiyah telah membentuk suatu
sstem pemerintahan baru bagi dunia Islam. Yakni mengubah system demokrasi yang
dilaksanakan dari masa Nabi hingga masa Khukafaur Rasyidin dengan pemerintahan Monarki.
Hal ini ditantai dengan diangkatnya Yazid ibn Mu’awiyah sebagai putera mahkota. Bahkan Ia menyampaikan
barang siapa yang tidak menerima
kemajuan Islam dengan kepemimpinan model kesultanannya, maka pedanglah
yang akan meluruskan. Karena hal tersebut orang-orang berbondong-bondong
menyatakan sumpah setia kepada Yazid ibn Mu’awiyah. Dari para sahabat Nabi yang
terkemuka, yang semula memihak kepada
Mu’awiyah mereka berpindah haluan mendukung Marwan (gubernur Madinah). Ia
datang ke Damaskus untuk memprotes kebijakan pengangkatan Yazid ibn Mu’awiyah
sebagai putera mahkota, namun justru Marwan dipecat.
Masa
kekuasaan Yazid ibn Mu’awiyah sangat singkat karena rakyat membai’at Yazid ibn
Mu’awiyah dengan setengah hati, terutama masyarakat Makkah dan Madinah.
Kepemimpinan Yazid ibn Mu’awiyah hanya dari tahun 680-683. Dalam periode Yazid
ibn Mu’awiyah ini ditandai dengan banyak keburukan dan hanya satu kebaikan, yaitu :
1. Tahun
pertama kepemimpinan, cucu Nabi, Husein terbunuh di Karbala menjadikan golongan
Syi’ah lahir secara sempurna dan menjadi penentang utama kepemimpinannya.
2. Tahun
kedua, tentara Yazid ibn Mu’awiyah menyerang habis-habisan kota Madinah dalam
peperangan di Harra yang mengakibatkan citra pasukan Islam tercoreng dimuka
sendiri.
3. Tahun
ketiga kekuasaan Yazid ibn Mu’awiyah, tentara Yazid ibn Mu’awiyah menyerang dan
membakar Ka’bah.
Demikian
keburukan yang terjadi pada pemerintahan Yazid ibn Mu’awiyah dikarenakan
masyarakat tidak mengakui Yazid ibn Mu’awiyah sebagai khalifah, terutama para
sahabat. Sedangkan kebaikan kepempinan Yazid ibn Mu’awiyah adalah Yazid ibn
Mu’awiyah mengangkat kembali Uqbah ibnu Nafi’I menjadi gubernur kedua kalinya
di Ifriqiyah/Qoyrawan.
Pada
,masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh 4
departemen pokok yaitu :
1.
Kementrian pajak
tanah (diwan al-kharaj) yang tugasnya mengurusi departemen keuangan.
2. Kementrian
khatam (diwan al-khatam) yang tugasnya merancang dan mengesahkan ordonasi
pemerintah.
3. Kementrian
surat menyurat (diwan al-rasail)dipercaya untuk mengontrol didaerah-daerah dan
semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
4. Kemenrtian
urusan perpajakan (diwan al-mustagallat).
Bahasa
administrasi yang berasal dari bahasa Yunani dan Persia diubah menjadi bahasa Arab,
dimulai oleh Abdul Malik pada tahun 85 H/704 M.
Dinasti
Umayyah juga melakukan upaya perluasan wilayah, pada masa Umayyah ini wilayah
kekuasaan meluas sampai ke Byzantium. Angkatan laut Umayyah yang berjumlah
1.700 kapal perang dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani.
Pada tahun 48/688 Mu’awiyah merencanakan penyerangan laut dan darat ke
Konstantinopel. Tetapi gagal setelah kehilangan banyak pasukan dan kapal perang
mereka. Ekspansi ke Barat dan Timur mencapai keberhasilan yang gemilang pada
masa Walid I. selama pemerintahannya, terdapat tiga orang pemimpin pasukan
terkemuka, yaitu : Qotaybah ibnu Muslim, Muhammad ibnu al-Qasyim, dan Musa ibn
Nashir.
Umat Islam
memperoleh kemenangan yang sangat luas
dalam hal ekspansi wilayah. Hal ini menjadikan orang Arab bertempat tinggal
didaerah-daerah yang telah dikalahkan, bahkan mereka menjadi tuan tanah.
Prinsip keuangan negara yang diberlakukan mngikuti apa yang ada pada masa Khulafa’ur
Rasyidin yaitu penetapan pajak tanah dan pajak perorangan untuk setiap individu
penghuni daerah-daerah yang telah dikalahkan.
Pada
masa Daulah Bani Umayyah terjadi homogenitas masyarakat, mereka dibedakan
menjadi masyarakat muslim dan nonmuslim. Homogenitas masyarakat yang timbul
mengakibatkan ambisi para Khalifah untuk mepersatukan masyarakat dengan politik
Arabisme. Usaha-usaha yang dilakukan kearah
Arabisme antara lain anak-anak Arab yang lahir didaerah-daerah penaklukan
diwajibkan membuat akte kelahiran pada kantor catatan kelahiran masyarakat Arab
agar keaslian mereka terjaga. Semua penduduk Islam diwajibkan berbahasa Arab,
dan segala peraturan negara yang berbahasa Romawi atau Persia harus disalin ke
bahasa Arab. Mulai saat itu bahasa Arab menjadi bahasa resmi Daulah Umayyah.
Selain itu Umayyah juga mengembangkan angkatan militer yang terdiri dari
angkatan darat ( al- Jund ), angkatan Laut ( al-bahriyah), dan angkatan
kepolisian ( assyurtah).
Seni bangunan ( arsitektur ) pada masa Umayyah
bertumpu pada bangunan sipil berupa kota-kota dan bangunan agama berupa
masjid-masjid. Beberapa perbaikan kota baru dan kota lama telah dilakukan pada
masa Umayyah yang diiringi dengan pembangunan gedung dengan gaya perpaduan
Persia, Romawi dan Arab yang dijiwai dengan semangat Islam. Damascus yang pada
masa sebelum Islam merupakan ibukota kerajaan Romawi Timur di Syam dibangun
kembalai oleh Umayyah dijadikan ibukota daulah Umayyah.
C.
KEJAYAAN
DINASTI UMAYYAH
Kejayaan
Bani Umayyah dimulai ketika kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan. Dia dianggap
sebagai pendiri Daulah Umayyah yang kedua karena mampu mencegah disintergrasi
yang telah terjadi sejak masa Marwan. Abdul Malik ibn Marwan berhasil menyempurnakan
Administrasi Bani Umayyah, Ia juga mengadakan berbagai pembaharuan diantaranya
penetappan bahasa negara yaitu Bahasa Arab, mencetak mata uang Arab dengan nama
Dinar, Dirham dan Fals, mendirikan kas negara, menggunakan tanda titik dan koma
pertamakalinya, serta memperbaharui Qowa’id yang sudah dimulai sejak zaman Khalifah
Ali bin Abi tholib.
Masa
penggantinya , Walid I merupakan periode kemenangan, kemakmuran, dan kejayaan.
Pada masa itu negara Islam meluas ke Barat dan ke Timur, beban hidup masyarakat
mulai ringan, pembangunan gedung-gedung umum mendapatkan perhatian yang serius.
Untuk mengkaji Al-Qur’an dan Hadist maka dibangun pusat-pusat kajian Islam di
Makkah, Madinah, Bashra, Kufah dan tempat-tempat lain.
Kejayaan
Bani Umayyah berlanjut pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Ia
adalah seorang terpelajar dan taat agama, dia juga seorang pelopor penyebar
agama Islam. Beberapa sarjanawan mengatakan pemerintahannya termashur seperti
pemerintahan ortodoks, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Akan
tetapi pemerintahannya hanya bertahan selama 2 tahun 5 bulan. Tetapi dia telah
meninggalkan hal-hal pentping yang sangat berguna untuk perkembangan Islam, dia
adalah sseseorang yang berhasil mengkodofikasikan hadits nabi, yang memunculkan
beberpa ahli hadits yang terkenang sampai masa ini. Khalifah Umar adalah
khalifah yang pertamakali menghapuskan berbagai pencelaan terhadap keluarga Ali
bin Abi Thalib. Dia adalah Khalifah yang arif dan bijaksana sebagaimana
kakeknya. Bani umayyah mengalami kemajuan yang pesat di masanya.
D.
KERUNTUHAN
DINASTI UMAYYAH
Sepeninggal
Umar II, kekhalifahan mulai melemah dan akhirnya hancur para Khalifah pengganti
Umar selalu mengorbankan kepentingan umum untuk kesenangan pribadi. Saat Umar
II berkuasa dengan kebijakan lunak dan bersahabat, baik Khawaruj maupun Syi’ah
tidak ada yang memusuhinya karena kesalehan dan keadilan yang diterapkan oleh
Umar II. Kelonggaran politik ini dimanfaatkan oleh bani Abbasiyah, mereka
keluar dari bawah tanah dan berkomunikasi dengan sesama abggota gerakan
Abbasiyah maupun dengan Syi’ah dan Khowarij yang sejak kelahiran Umayyah tidak
pernah mengakui sebagai Khalifah atau kekuatan politik yang sah dan Islami.
Puncaknya
adalah, ketika dinasti ini dipimpin oleh Khalifah Muhammad bin Marwan. Pada
pemerintahannya, dinasti Umayyah sedang mengalami goncangan besar akibat
merebaknya kelompok pemeberontak yang semakin giat melancarkan serangan ke
pemerintah. Khalifah Marwa berupaya keras untuk menstabilkan kembali keadaan
Negara. Sehingga perhatiannya lebih banyak ia curahkan untuk menghabisi gerakan
pemberontak daripada mengatur jalannya pemerintahan. Sebenarnya dia adalah Khalifah yang cakap dan tangguh, tetapi akibat warisan kekuasaan
yang kacau menjadikan dia terfokus pada satu titik untuk mengembalikan jalannya
pemerintahan.
Keadaan ini dilihat golongan Abbasiyah sebagai celah
untuk menyerang pemerintah. Pada tahun 750 M, gerakan Abbasiyah mulai secara
terang-terangan merongrong pemerintahan. Mereka berhasil menghimpun kekuatan
dari golongan Syiah, Khawarij, dan golongan Mawali yang sama-sama tidak
menyukain pemerintahan Bani Umayyah. Gerakan Abbasyiah ini berhasil menggunakan
celah yang ada, mereka berhasil memporak-porandakan Dinasti Umayyah, bala
tentara yang dikirim oleh Khalifah ditumpas habis tanpa sisa. Khalifah Marwan
pun akhirnya berlari dan menjadi buruan oleh kelompok Abbas. Akan tetapi,
akhirnya Khalifah dapat ditangkan di daerah Mesir oleh kelomok Abbasiyah. Khalifah
Marwan bin Muhammad dikenail hukum pancung oleh mereka. Sepeninggalan khalifah
Marwa II, bani Umayyah telah tumbang dan dilanjutkan oleh Bani Abbasyiah.
E.
FAKTOR
PENYEBAB RUNTUHNYA DINASTI UMAYYAH
Berikut
ini adalah beberapa alasan mendasar mengenai kehancuran dinasti Umayyah:
1.
Wilayah
Kekuasaan yang Luas.
Dalam
waktu yang singkat tidak berbanding lurus dengan komunikasi yang baik. Akibat
komunikasi yang kurang baik tersebut menyebabkan sulitnya mendeteksi
gerak-gerik lawan bani Umayyah.
2.
Sikap Glamour Penguasa
Kemenangan
suatu Dinasti lazimnya diikuti oleh kemewahan hidup, foya-foya, dan tidak mau
bekerja. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, inilah yang ditiru oleh para Khalifah
dari tradisi Byzantium. Hal ini sudah berlangsung sejak pemerintahan sebagaian
penguasa Bani Umayyah. Misalnya Yazid ibn Mu’awiyah, juga di masa Walid I, dan
Khalifah Yazid ibn Abdul malik. Hidup bermegah-megahan ini tentu saja
mempengaruhi kondisi psikologis dan vitalitas mereka dalam memimpin Negara yang
besar dengan daerah kekuasaan yang demikian luas.[5]
3.
Meruncingnya
Pertentangan Etnis
Pertantangan
etnis antara suku Arabia Utara ( Bani Qais ) dan Arabia Selatan ( Bani Kalb)
yang menyebabkan pengusa Bani Umayyah kesulitan menggalang persatuan dan
kesatuan. Kedua suku dikalangan Bani Umayyah ini ikut memepengaruhi pengambilan
keputusan-keputusan yang bersifat vital. Misalnya saja suksesi kekhalifahan
dimana dukungan suku Arab terkuatlah yang menjadi Khalifah
4.
Timbulnya
Stratifikasi Sosial.
Bangsa
Arab sebagai warga kelas satu sementara non Arab (disebut juga dengan generasi
mampluk/budak ) menjadi kelas dua. Dalam hal ini jelas Arab Islam lebih
tinggi dari ras manapun. Baik disbanding dengan non muslim atau muslim sendiri.
Tampaknya hadits Nabi yang menceritakan bahwa yang membedaka antara seorang
deng orang lain tak lain hanyalah taqwa, sangat tidak diindahkan oleh mereka.
System
yang berbeda ini menyebabkan keresahan dikalngan non Arab muslim dan
menimbulkan gerakan untuk menumbangkan pemerintahan Bani Umayyah ini.[6]
5.
Munculnya
Kekuatan Baru
Adanya
kekuatan-kekuatan bru yang dipelopori oleh keturunan Al Abbas ibn Mutholib.
Gerakan ini dapat dukungan penih dari Bani Hasyim dan Golongan Syi’ah serta
kaum Mawali yang merasa diperlakukan tidak adil oleh rezim Bani Umayyah.
F.
HASIL-HASIL
KEBUDAYAAN
1.
Peninggalan Dibidang Pemerintahan (
politik)
Munculnya
berbagai lembaga-lembaga pemerintah yang sebelumnya tifak ada, seperti:
a)
An-nizam al-siyasi : lembaga politik
b)
An-nizam al-mali : lembaga keuangan
c)
An-nizam al-idari : lembaga tata usaha negara
d)
An-nizam al-qada’i : lembaga kehakiman
e)
An-nizam al-harbi : lembaga ketentaraan
f)
Diwan al-kitabah : lembaga sekretaris Negara
·
Katib al-rasail : sekretaris administrasi
·
Katib al-kharaj : sekretaris keuangan
·
Katib al-jundi : sekretaris tentara
·
Katib as-syurthah : sekretaris kepolisian
·
Katib al-qadhi : sekretaris kehakiman
2.
Peninggalan dalam Bidang Ilmu
Pengetahuan
a) Pembentukan pusat kegiatan ilmiah di
basrah dan kufah
b) Munculnya ilmuwan-ilmuwan dan
ulama-ulama terkenal
c) Munculnya sastrawan
d) Majunya perkembangan ilmu agama
Islam
Khalid
bin Yazid ibn Mu’awiyah bin muawiyah Orang
pertama yang menerjemahkan buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia dan
penyair serta orator terkenal pada masa Dinasti Umayah . Selain itu banyak Ulama
yang terkenal pada masa Dinasti Umayah seperti Hasan al-basri, Ibnu
Syihab Al-Zuhri , serta Wasil bin Atha’ .
3.
Peninggalan Dibidang Bahasa dan Sastra
a) Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa
administrasi negara dan menjadi bahasa internasional
b) Muncul ahli bahasa Arab : Sibawaih
dengan karyanya : al-kitab
Sastrawan
terkenal pada masa Dinasti Umayyah : Qays bin Mulawwah dengan karyanya Laila
Majnun, Jamil al-Uzri, Al-Akhtal, Umar bin Abi rabi’ah, Al-Farazdaq, Ibnu
al-Muqaffa dan Jarir
4.
Peninggalan Dibidang Pembangunan fisik
a)
Mengubah Katedral St.John di Damaskus menjadi Masjid.
b)
Menggunakan Katedral Hims sebagai masjid serta merenovasi
Masjid Nabawi
BAB III
PENUTUP
Demikian pembahasan singkat mengenai
kepemipinan dinasti umayyah. Dalam pembahasan diatas telah dibahas sejara
runtut mulai dari berdirinya Daulah Bani Umayyah, Perkembangannya, kejayaannya,
dan penyebab keruntuhannya, serta hasil-hasil budaya yang ada pada masa
Umayyah. Semoga pembahasan dalam makalah
ini dapat memperluas wawasan bagi pembaca. Apabila masih mengharapkan kritik
dan saran dari teman-teman semua karena makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Syalabi.
2003. Sejarah dan Kudayaan Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru
Karim, M Abdul.
2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka
Siti Maryam.
2002. Sejarah Peradaban Islam.
Yogyakarta : Lesfi
[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam(Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher) 2007, hlm 113
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah Peradaban Islam, 1 terj. Muchtar Yahya,
(Jakarta : Pustaka Al-Husna,1983), hlm 27
[3] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam ( Yogyakarta : Lesfi ), 2002,
hlm 80
[4] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Jilid II,(Jakarta:PT. raja Grafindo Persada,1995),hlm, 61.
[5] Busman Edyar, dkk, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:
Pustaka Asatrus, 2009),hlm.57.
[6] ibid
Langganan:
Postingan (Atom)