Rabu, 15 Mei 2013

Samsudin As-sumatrani


SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-XVII dan ke-XVII di Nusantara telah berkembang pesat suatu jaringan intelektual. Sebagai ciri khusus dari perkembangan jaringan ulama tersebut adalah lebih mendominasinya pemikiran Tasawuf di kalangan ulama. Hal ini bukanlah kebetulah, jika kita cermati lebih jauh, mendominasinya Tasawuf dalam beberapa bidang merupakan pengaruh langsung dari Timur Tengah. Beberapa tokoh dari Nusantara, yang sempat menimba ilmu dari Arab kemudian mengembangkan pengetahuan mereka di Nusantara. Pada rentang waktu tersebut, seiring Tasawuf yang sangat berkembang di Arab mempengaruhi pemikiran ulama Nusantara. Beberapa tokoh Nusantara menjadi pioner dalam perkembangan intelektualisme Islam, dan khususnya Tasawuf di Nusantara.
Hamzah Fansuri mejadi pertama dari sebagian besar ulama Nusantara yang sering disebut sebagai tokoh inteletual Islam Nusantara. Pemikirannya telah ikut serta mewarnai khazanah intelektualisme Islam di Asia Tenggara. Peran serta Syekh Hamzah Fansuri kemudian diteruskan oleh muridnya, yaitu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Pemikirannya masih seputar Tasawuf disinyalir sebagai warisan intelektual dari gurunya, yaitu Syekh Hamzah Fansuri. Tokoh ini begitu fenomenal dengan konsep Martabat Tujuhnya.Syekh Syamsuddin juga seorang yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan yang bekembang di Aceh. Akan tetapi sebuah kajian khusus mengenai tokoh ini kiranya belum begitu banyak, hal ini dikarenakan beberapa karya dari Syekh Syamsuddin telah habis  dibakar oleh pihak yang menganggap Tasawuf Wujuddiyah yang dikembangkan oleh Syamsuddin di Nusantara begitu mengkhawatirkan.
Siapakah Syekh Syamsuddin ini? Bagaimana pemikirannya mengenai Tasawuf? Adakah perannya dalam kemajuan Islam di Nusantara dan karya-karyanya? Makalah ini mencoba menguraikan mengenai sosok dan pemikiran Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Lewat makalah ini kami berharap dapat membantu teman-teman untuk lebih memahami sosok as-Sumatrani, dengan harapan dapat menambah wawasan mengenai perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Sebagai penulis, kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran dari rekan-rekan sangat kami butuhkan untuk evaluasi dan perbikan makalah ini di kemudian hari. Peran serta teman-teman sangat kami harapkan untuk lebih memperbaiki kekurangan dari makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Tokoh
Syamsuddin as-Sumatrani, nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani, sering pula disebut dengan Syamsuddian Pasai.[1] Ia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17.[2] Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka dapat diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana. Ia adalah Syaikhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1670-1636). Sebagai seorang ulama Tasawuf ia memiliki banyak pengikut.[3]
Bersama Hamzah Fansuri, Syamsuddin merupakan tokoh aliran wujudiyyah (penganut aliran wahdatul wujud).[4] Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Tidak banyak literatur yang dapat mengungkapkan identitas Syamsuddin dengan rinci, kecuali beberapa kitab lama seperti Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri (w. 1658/1069). Kitab ini banyak menguraikan para ulama yang datang dan mengajar di Aceh pada abada ke-16 dan ke-17, buku-buku yang meraka karang, serta ilmu-ilmu yang diajarkan.[5]
Karya inilah yang juga menjelaskan mengenai tahun wafatnya Syamsuddin, yaitu pada 1630 M (1039 H), sedang tahun kelahirannya tidak diketahui.[6] Dia merupakan seorang tokoh pujangga Islam Indonesia kedua setelah Hamzah Fansuri. Sebagian orang beranggapan bahwa kebesaran yang diperoleh Syamsuddin tidak terlepas dari pengaruh  gurunya yang mengilhami Syamsuddin dalam menyusun karya-karyanya. Seperti halnya Hamzah Fansuri, bidang pemikirang yang menonjol dari Syamsuddin adalah bidang Tasawuf.[7] Hal ini sejalan dengan berkembangnya pemikiran Tasawuf di Timur Tengah yang telah menguasai Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual sejak abad ke-XII dan abad ke-XIII, di kalangan ulama-termasuk muhadditsun murni-semakin tinggi kesadaran akan hampir mustahilnya mengabaikan kekuataan Tasawuf.[8] Demikian halnya dengan ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani, keduanya terkenal sebagai pemuka Tasawuf dan biasanya disebut sebagai tokoh wujudiyah.[9]
B.     Pemikiran Tasawuf
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustan as-Salatin menuliskan bahwa Syeikh (Syamsuddin as-Sumatrani) itu alim pada segala ilmu dan ialah terkenal pengetahuannya pada Tasawuf dan beberapa kitab yang dita’lifkannya.[10] Paham Tasawuf Wujudiyyah Syamsuddin menyatakan bahwa wujud hakiki itu hanya satu, yaitu wujud Tuhan. Wujud makhluk tidak ia ingkari, tapi bila dibandingkan dengan wujud hakiki (Tuhan), wujud makhluk hanya seperti bayangan saja dari wujud Tuhan. Sebagai wujud bayangan, makhluk ini tidaklah berwujud karena dirinya sendiri, tetapi bergantung kepada wujud Tuhan. Ia (Syamsuddin) juga mengingatkan para muridnya tentang perbedaan paham muwahhid yang benar dengan paham kaum sesat (zindik). Menurut pandangan yang dianutnya, seorang yang arif hanya menafikan (meniadakan) makhluk, takkala ia berada pada martabat (taraf) fana, sedangan menurut pandangan yang kedua (sesat), makhluk ditiadakan karena wujud Tuhan diyakini berada dalam kandungan makhluk itu.[11]
Beberapa pandangan as-Sumatrani sebagai berikut; pertama, Tuhan adalah wujud yang awal, sumber dari segala wujud dan kenyataan satu-satunya. Kedua, Zat adalah wujud Tuhan, Ia adalah kesempurnaan dalam kemutlakan yang tinggi, sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk memikirkannya. Zat itu wujud dan asal dari segala yang ada. Wujud yang ada ini tidak berbeda dengan wujud Allah SWT. Wujud Allah mencakup baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Ketiga, hakikat zat dan sifat dua puluh adalah satu. Jadi zat itu adalah sifat.[12] Selanjutnya dia mengungkapkan bahwa sifat Allah kadim dan baqa, sedangkan sifat manusia fana. Allah SWT ada dengan sendirinya, sedangakan manusia dibuat dan tidak ada. Hal ini seperti orang melihat cermin dengan rupa yang terbayang dalam cermin; orang yang melihat cermin itu kadim sedangkan rupa dalam cermin itu muhdat (baru diciptakan) serta fana.[13]
 Kelima, ajaran wujud tercakup dalam martabat tujuh, yang pada dasarnya seperti paham martabat tujuh al-Burhanpuri. Pemikiran Syamsuddin selanjutnya dalah mengenai tafsiran kalimat syahadat seperti kaum wujuddiah yang lain. Terakhir adalah pandangannya mengenai orang yang memiliki ma’rifah (pengetahuan) yang sempurna adalah orang yang mengatahui aspek perbedaan (tanzih), dan aspek kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan makhluk-Nya.[14] Adapun martabat tujuh yang dikembangkan syamsuddin itu meliputi: martabat ahadiyyah (tanpa pembeda), martabat wahdah (pembedaan yang pertama), martabat wahidiyyah (pembedaan yang kedua), martabat alam arwah (pangkal segala nyawa), martabat alam mitsal (dunia ibarat), martabat alam ajsam (dunia kausal), dan martabat alam insan (dunia kamil).[15]
Pandangan Syamsuddin dalam Taswuf secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola pikir Ibn Arabi. Dia banyak belajar dari Hamzah Fansuri yang demikian kuatnya paham wujudiah. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam. Dalam pengajaran Hamzah Fansuri dikenal dengan la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah.[16] Kedua ajaran Tasawuf ini dalam banyak aspek tetap berpedoman pada sumber asalnya, yaitu ajaran Ibn Arabi maupun al-Jilli.[17] Meskipun demikian, Syekh Syamsuddin juga seorang yang sangat ahli di bidang lain. Hal ini terlihat ketika ia menjabat sebagai penasihat keagamaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Pengetahuannya dalam bidang agama menjadikannya menempati posisi penting di kerajaan.
C.    Peranan dan Karya
Frederick  de Houtman, seorang pelaut Belanda yang pada 1599 (1008) ditawan di Banda aceh, menyebut dalam bukunya tentang Syekh, penasihat agung Raja, tapi tidak ada keterangan lain tentang Syekh itu. Duta Kerajaan Inggris, Sir James Lancaster,  yang datang ke istana Sultan Aceh pada 1602 (1011 H), menyebut imam kepala (chiefe bishope) yang dihormati Raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa, dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa penasihat itu adalah Syekh Syamsuddin as-Sumatrani.[18] Karir Syamsuddin terus menanjak sampai kepada pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil dan di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Syah, dan dalam dua masa pemerintahan itu dilanjutkan itu beliau dilantik menjadi “Qadi Malikul Adil” orang kedua dalam kerajaan yang sekaligus menjadi ”Ketua Balai Gadang”.[19]
 Syamsuddin menulis banyak buku berbahasa Arab dan Melayu (dengan judul bahasa Arab). Karya tulis ini tidak banyak diketahui karena telah dibakar oleh Nuruddin ar-Raniri  atas perintah Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Ajaran Syamsuddin dan Hamzah Fansuri ditentang oleh Nuruddin ar-Raniri karena dinilai sesat serta dianggap sebagai ajaran panteisme. Kitab-kitab Syekh Syamsuddin yang ditemukan juga tidak lengkap. Di antara bukunya adalah Mirat al-Mu’min (Warisan orang yang beriman) dan Mirat al-Muhaqiqina (warisan orang yang yakin).[20] Karya-karya yang lain meliputi:[21]
1.      Jawahirul Haqaaiq
2.      Tanbiihut Thullab fi  Ma’rifat Maliki Wahhab
3.      Risaalatu Baiyin Mulahazat al-Muwahhidiin Muhtadi fi Zikrillahi
4.      Kitabul  Harakah
5.      Nurud Daqaaiq
Hawash Abdullah membagi beberapa kategori buku karangan Syamsuddin dalam beberapa kelompok. Kelima kitab di atas merupakan kitab karangan Syamsuddin dalam bahasa Arab, selain itu ada kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu serta beberapa kitab yang belum dapat diidentifikasi ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu.[22]

BAB III
KESIMPULAN
Uraian di atas telah mencoba memaparkan mengenai sosok, pemikiran, serta peran Syamsuddin as-Sumaterani dalam mewarnai khazanah intelektual Islam di Indonesia. Meskipun sumber-sumber sejarah yang dapat membantu mengembalikan sosok as-Sumatrani dalam makalah ini sangat sedikit, akan tetapi dapat kita garis bawahi beberapa poin penting mengenai Syamsuddin as-Sumatrani. Pertama, dia merupakan ulama Tasawuf Wujuddiyah yang telah hidup sezaman dengan Hamzah Fansuri. Pemikirannya dalam banyak aspek sama dengan pandangan Hamzah Fansuri di bidang Tasawuf. Pemikiran mereka berdua dipengaruhi oleh pandangan Tasawuf Ibn Arabi dan Al-Jilli hampir di setiap bidang. Keterkaitan ini terjadi karena kedua orang tersebut sempat menempuh pendidikan di wilayah yang sedang didominasi pemikiran Ibn Arabi maupun Al-Jilli.
Kedua, satu hal yang menjadi ciri pandangan as-Sumaterani dalam bidang Tasawuf adalah adanya konsep Martabat Tujuh. Hal ini sekaligus menjadi pembeda antara dia dengan Hamzah Fansuri. Selanjutnya, dia memiliki posisi strategis dalam mengembangkan pemikirannya tersebut. Selama masa Iskandar Muda berkuasa di kerajaan Aceh, ia adalah penasehat kerajaan dalam bidang agama yang memiliki pengaruh yang kuat baik di masyarakat maupun kerajaan. Dengan legitimasi dari kerajaan, Syekh Syamsuddin mengarang beberapa karya, dua di antaranya merupakan syarah bagi karangan Hamzah Fansuri. Sebagian sejarawan mengganggap hal ini sebagai signal keterkaitan antara dia dengan Hamzah Fansuri.  Karya-karya tersebut sekarang sulit ditemukan karena ketika Nuruddin ar-Raniri menjadi Mufti bagi kerajaaan Aceh yang dipimpin Iskandar Tsani, melakukan gerakan pembersihan bagi pengaruh pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Sehingga sumber tertulis untuk melacak peran serta keduanya menjadi sangat terbatas.
Daftar Pustaka
Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.
Azra, Azyumardi. 2006. Renaisans Islam di Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fauzi, Ilham.2009.Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri. Jakarta: FIB Univesitas Indonesia
Nasution, Harun, dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Nurbai, Efrizal.”Tasawuf Falsafi di Nusantara Abad ke-XVII”, dalam Harian Kompas,19 Januari 2010.
Ridwan, Kafrawi. 1993. Ensiklopedi Islam, vol, IV. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve


[1] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.343.
[2] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[3] Kafrawi Ridwan,Op, Cit, hlm.343.
[4]Ibid.
[5] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[6] Ibid.
[7] Hawash Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980),hlm,40-41.
[8]Azyumardi Azra,Renaisans Islam di Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan,(Bandung: Remaja Rosdakarya,2006),hlm,134.
[9] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[10] Hawash Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980),hlm,42.
[11] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,892.
[12] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.344.
[13] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,892.
[14] Ibid.
[15] Efrizal Nurbai,”Tasawuf Falsafi di Nusantara Abad ke-XVII”, dalam Harian Kompas,19 Januari 2010.
[16] Ibid.
[17]Ilham Fauzi,Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri,(Jakarta: FIB Univesitas Indonesia,2009),hlm,22.
[18] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[19]Hawash Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980),hlm, 41.
[20] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.344.
[21] Hawash Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980),hlm, 41.
[22]Lebih lengkap lihat Hawash Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980),hlm, 41-43

1 komentar: