SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI
BAB
I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan
abad ke-XVII dan ke-XVII di Nusantara telah berkembang pesat suatu jaringan
intelektual. Sebagai ciri khusus dari perkembangan jaringan ulama tersebut
adalah lebih mendominasinya pemikiran Tasawuf di kalangan ulama. Hal ini
bukanlah kebetulah, jika kita cermati lebih jauh, mendominasinya Tasawuf dalam
beberapa bidang merupakan pengaruh langsung dari Timur Tengah. Beberapa tokoh
dari Nusantara, yang sempat menimba ilmu dari Arab kemudian mengembangkan
pengetahuan mereka di Nusantara. Pada rentang waktu tersebut, seiring Tasawuf
yang sangat berkembang di Arab mempengaruhi pemikiran ulama Nusantara. Beberapa
tokoh Nusantara menjadi pioner dalam perkembangan intelektualisme Islam, dan
khususnya Tasawuf di Nusantara.
Hamzah Fansuri
mejadi pertama dari sebagian besar ulama Nusantara yang sering disebut sebagai
tokoh inteletual Islam Nusantara. Pemikirannya telah ikut serta mewarnai
khazanah intelektualisme Islam di Asia Tenggara. Peran serta Syekh Hamzah
Fansuri kemudian diteruskan oleh muridnya, yaitu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani.
Pemikirannya masih seputar Tasawuf disinyalir sebagai warisan intelektual dari gurunya,
yaitu Syekh Hamzah Fansuri. Tokoh ini begitu fenomenal dengan konsep Martabat
Tujuhnya.Syekh Syamsuddin juga seorang yang sangat berpengaruh dalam
pemerintahan kerajaan-kerajaan yang bekembang di Aceh. Akan tetapi sebuah
kajian khusus mengenai tokoh ini kiranya belum begitu banyak, hal ini
dikarenakan beberapa karya dari Syekh Syamsuddin telah habis dibakar oleh pihak yang menganggap Tasawuf
Wujuddiyah yang dikembangkan oleh Syamsuddin di Nusantara begitu mengkhawatirkan.
Siapakah Syekh
Syamsuddin ini? Bagaimana pemikirannya mengenai Tasawuf? Adakah perannya dalam
kemajuan Islam di Nusantara dan karya-karyanya? Makalah ini mencoba menguraikan
mengenai sosok dan pemikiran Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Lewat makalah ini
kami berharap dapat membantu teman-teman untuk lebih memahami sosok
as-Sumatrani, dengan harapan dapat menambah wawasan mengenai perkembangan
intelektual Islam di Indonesia. Sebagai penulis, kami sangat menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran dari rekan-rekan sangat
kami butuhkan untuk evaluasi dan perbikan makalah ini di kemudian hari. Peran
serta teman-teman sangat kami harapkan untuk lebih memperbaiki kekurangan dari
makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh
Syamsuddin
as-Sumatrani, nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdillah
as-Sumatrani, sering pula disebut dengan Syamsuddian Pasai.[1] Ia
adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad
ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17.[2] Menurut
para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai
mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah
orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka dapat diduga bahwa ia sendiri
dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka
kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama
bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana. Ia adalah Syaikhul
Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1670-1636). Sebagai seorang ulama Tasawuf ia memiliki banyak pengikut.[3]
Bersama
Hamzah Fansuri, Syamsuddin merupakan tokoh aliran wujudiyyah (penganut
aliran wahdatul wujud).[4] Mengenai
hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy
cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri.
Tidak
banyak literatur yang dapat mengungkapkan identitas Syamsuddin dengan rinci,
kecuali beberapa kitab lama seperti Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin karangan
Nuruddin ar-Raniri (w. 1658/1069). Kitab ini banyak menguraikan para ulama yang
datang dan mengajar di Aceh pada abada ke-16 dan ke-17, buku-buku yang meraka
karang, serta ilmu-ilmu yang diajarkan.[5]
Karya
inilah yang juga menjelaskan mengenai tahun wafatnya Syamsuddin, yaitu pada
1630 M (1039 H), sedang tahun kelahirannya tidak diketahui.[6] Dia
merupakan seorang tokoh pujangga Islam Indonesia kedua setelah Hamzah Fansuri.
Sebagian orang beranggapan bahwa kebesaran yang diperoleh Syamsuddin tidak
terlepas dari pengaruh gurunya yang
mengilhami Syamsuddin dalam menyusun karya-karyanya. Seperti halnya Hamzah
Fansuri, bidang pemikirang yang menonjol dari Syamsuddin adalah bidang Tasawuf.[7] Hal ini
sejalan dengan berkembangnya pemikiran Tasawuf di Timur Tengah yang telah
menguasai Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual sejak abad ke-XII
dan abad ke-XIII, di kalangan ulama-termasuk muhadditsun murni-semakin
tinggi kesadaran akan hampir mustahilnya mengabaikan kekuataan Tasawuf.[8] Demikian
halnya dengan ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin
as-Sumatrani, keduanya terkenal sebagai pemuka Tasawuf dan biasanya disebut
sebagai tokoh wujudiyah.[9]
B. Pemikiran Tasawuf
Nuruddin
ar-Raniri, dalam Bustan as-Salatin menuliskan bahwa Syeikh (Syamsuddin
as-Sumatrani) itu alim pada segala ilmu dan ialah terkenal pengetahuannya pada
Tasawuf dan beberapa kitab yang dita’lifkannya.[10] Paham
Tasawuf Wujudiyyah Syamsuddin menyatakan bahwa wujud hakiki itu hanya satu,
yaitu wujud Tuhan. Wujud makhluk tidak ia ingkari, tapi bila dibandingkan
dengan wujud hakiki (Tuhan), wujud makhluk hanya seperti bayangan saja dari
wujud Tuhan. Sebagai wujud bayangan, makhluk ini tidaklah berwujud karena
dirinya sendiri, tetapi bergantung kepada wujud Tuhan. Ia (Syamsuddin) juga
mengingatkan para muridnya tentang perbedaan paham muwahhid yang benar dengan
paham kaum sesat (zindik). Menurut pandangan yang dianutnya, seorang yang arif
hanya menafikan (meniadakan) makhluk, takkala ia berada pada martabat (taraf)
fana, sedangan menurut pandangan yang kedua (sesat), makhluk ditiadakan karena
wujud Tuhan diyakini berada dalam kandungan makhluk itu.[11]
Beberapa
pandangan as-Sumatrani sebagai berikut; pertama, Tuhan adalah wujud yang
awal, sumber dari segala wujud dan kenyataan satu-satunya. Kedua, Zat
adalah wujud Tuhan, Ia adalah kesempurnaan dalam kemutlakan yang tinggi,
sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk memikirkannya. Zat itu wujud dan
asal dari segala yang ada. Wujud yang ada ini tidak berbeda dengan wujud Allah
SWT. Wujud Allah mencakup baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Ketiga, hakikat zat dan sifat dua puluh adalah satu. Jadi zat itu adalah sifat.[12] Selanjutnya
dia mengungkapkan bahwa sifat Allah kadim dan baqa, sedangkan sifat manusia
fana. Allah SWT ada dengan sendirinya, sedangakan manusia dibuat dan tidak ada.
Hal ini seperti orang melihat cermin dengan rupa yang terbayang dalam cermin;
orang yang melihat cermin itu kadim sedangkan rupa dalam cermin itu muhdat (baru
diciptakan) serta fana.[13]
Kelima, ajaran wujud tercakup dalam
martabat tujuh, yang pada dasarnya seperti paham martabat tujuh al-Burhanpuri.
Pemikiran Syamsuddin selanjutnya dalah mengenai tafsiran kalimat syahadat
seperti kaum wujuddiah yang lain. Terakhir adalah pandangannya mengenai
orang yang memiliki ma’rifah (pengetahuan) yang sempurna adalah orang yang
mengatahui aspek perbedaan (tanzih), dan aspek kemiripan (tasybih)
antara Tuhan dengan makhluk-Nya.[14] Adapun
martabat tujuh yang dikembangkan syamsuddin itu meliputi: martabat ahadiyyah
(tanpa pembeda), martabat wahdah (pembedaan yang pertama), martabat wahidiyyah
(pembedaan yang kedua), martabat alam arwah (pangkal segala nyawa), martabat
alam mitsal (dunia ibarat), martabat alam ajsam (dunia kausal),
dan martabat alam insan (dunia kamil).[15]
Pandangan
Syamsuddin dalam Taswuf secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola pikir Ibn
Arabi. Dia banyak belajar dari Hamzah Fansuri yang demikian kuatnya paham
wujudiah. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin
Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak
ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid
yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur
alam. Dalam pengajaran Hamzah Fansuri dikenal dengan la ta’ayyun.
Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah.[16] Kedua
ajaran Tasawuf ini dalam banyak aspek tetap berpedoman pada sumber asalnya,
yaitu ajaran Ibn Arabi maupun al-Jilli.[17]
Meskipun demikian, Syekh Syamsuddin juga seorang yang sangat ahli di bidang
lain. Hal ini terlihat ketika ia menjabat sebagai penasihat keagamaan pada masa
Sultan Iskandar Muda. Pengetahuannya dalam bidang agama menjadikannya menempati
posisi penting di kerajaan.
C. Peranan dan Karya
Frederick de Houtman, seorang pelaut Belanda yang pada
1599 (1008) ditawan di Banda aceh, menyebut dalam bukunya tentang Syekh,
penasihat agung Raja, tapi tidak ada keterangan lain tentang Syekh itu. Duta
Kerajaan Inggris, Sir James Lancaster,
yang datang ke istana Sultan Aceh pada 1602 (1011 H), menyebut imam
kepala (chiefe bishope) yang dihormati Raja dan rakyatnya, bijaksana dan
berwibawa, dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh.
Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa penasihat itu adalah Syekh
Syamsuddin as-Sumatrani.[18] Karir
Syamsuddin terus menanjak sampai kepada pemerintahan Sultan Alauddin Riayat
Syah IV Saiyidil Mukammil dan di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Syah,
dan dalam dua masa pemerintahan itu dilanjutkan itu beliau dilantik menjadi
“Qadi Malikul Adil” orang kedua dalam kerajaan yang sekaligus menjadi ”Ketua
Balai Gadang”.[19]
Syamsuddin menulis banyak buku berbahasa Arab
dan Melayu (dengan judul bahasa Arab). Karya tulis ini tidak banyak diketahui
karena telah dibakar oleh Nuruddin ar-Raniri
atas perintah Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Ajaran Syamsuddin dan
Hamzah Fansuri ditentang oleh Nuruddin ar-Raniri karena dinilai sesat serta
dianggap sebagai ajaran panteisme. Kitab-kitab Syekh Syamsuddin yang ditemukan
juga tidak lengkap. Di antara bukunya adalah Mirat al-Mu’min (Warisan
orang yang beriman) dan Mirat al-Muhaqiqina (warisan orang yang yakin).[20]
Karya-karya yang lain meliputi:[21]
1. Jawahirul
Haqaaiq
2. Tanbiihut
Thullab fi Ma’rifat Maliki Wahhab
3. Risaalatu
Baiyin Mulahazat al-Muwahhidiin Muhtadi fi Zikrillahi
4. Kitabul Harakah
5. Nurud
Daqaaiq
Hawash Abdullah membagi
beberapa kategori buku karangan Syamsuddin dalam beberapa kelompok. Kelima
kitab di atas merupakan kitab karangan Syamsuddin dalam bahasa Arab, selain itu
ada kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu serta beberapa kitab yang belum
dapat diidentifikasi ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu.[22]
BAB
III
KESIMPULAN
Uraian di atas
telah mencoba memaparkan mengenai sosok, pemikiran, serta peran Syamsuddin
as-Sumaterani dalam mewarnai khazanah intelektual Islam di Indonesia. Meskipun
sumber-sumber sejarah yang dapat membantu mengembalikan sosok as-Sumatrani
dalam makalah ini sangat sedikit, akan tetapi dapat kita garis bawahi beberapa
poin penting mengenai Syamsuddin as-Sumatrani. Pertama, dia merupakan ulama
Tasawuf Wujuddiyah yang telah hidup sezaman dengan Hamzah Fansuri. Pemikirannya
dalam banyak aspek sama dengan pandangan Hamzah Fansuri di bidang Tasawuf.
Pemikiran mereka berdua dipengaruhi oleh pandangan Tasawuf Ibn Arabi dan
Al-Jilli hampir di setiap bidang. Keterkaitan ini terjadi karena kedua orang tersebut
sempat menempuh pendidikan di wilayah yang sedang didominasi pemikiran Ibn
Arabi maupun Al-Jilli.
Kedua, satu hal
yang menjadi ciri pandangan as-Sumaterani dalam bidang Tasawuf adalah adanya
konsep Martabat Tujuh. Hal ini sekaligus menjadi pembeda antara dia dengan
Hamzah Fansuri. Selanjutnya, dia memiliki posisi strategis dalam mengembangkan
pemikirannya tersebut. Selama masa Iskandar Muda berkuasa di kerajaan Aceh, ia
adalah penasehat kerajaan dalam bidang agama yang memiliki pengaruh yang kuat
baik di masyarakat maupun kerajaan. Dengan legitimasi dari kerajaan, Syekh
Syamsuddin mengarang beberapa karya, dua di antaranya merupakan syarah bagi
karangan Hamzah Fansuri. Sebagian sejarawan mengganggap hal ini sebagai signal
keterkaitan antara dia dengan Hamzah Fansuri. Karya-karya tersebut sekarang sulit ditemukan
karena ketika Nuruddin ar-Raniri menjadi Mufti bagi kerajaaan Aceh yang
dipimpin Iskandar Tsani, melakukan gerakan pembersihan bagi pengaruh pemikiran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Sehingga sumber tertulis untuk
melacak peran serta keduanya menjadi sangat terbatas.
Daftar Pustaka
Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.
Azra, Azyumardi. 2006. Renaisans
Islam di Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Fauzi,
Ilham.2009.Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri. Jakarta: FIB Univesitas
Indonesia
Nasution, Harun, dkk. 1992. Ensiklopedi
Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Nurbai, Efrizal.”Tasawuf Falsafi di
Nusantara Abad ke-XVII”, dalam Harian Kompas,19 Januari 2010.
Ridwan,
Kafrawi. 1993. Ensiklopedi Islam, vol, IV. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van
Hoeve
[1] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi
Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.343.
[2] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[3] Kafrawi Ridwan,Op, Cit, hlm.343.
[5] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[6] Ibid.
[7] Hawash Abdullah,Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas,
1980),hlm,40-41.
[8]Azyumardi Azra,Renaisans Islam
di Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan,(Bandung: Remaja
Rosdakarya,2006),hlm,134.
[9] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[10] Hawash Abdullah,Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas,
1980),hlm,42.
[11] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,892.
[12] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi
Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.344.
[13] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,892.
[14] Ibid.
[15] Efrizal Nurbai,”Tasawuf Falsafi
di Nusantara Abad ke-XVII”, dalam Harian Kompas,19 Januari 2010.
[16] Ibid.
[17]Ilham Fauzi,Ajaran Tasawuf
Hamzah Fansuri,(Jakarta: FIB Univesitas Indonesia,2009),hlm,22.
[18] Harun Nasution dkk,Ensiklopedi
Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,1992),hlm,891.
[19]Hawash Abdullah,Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas,
1980),hlm, 41.
[20] Kafrawi Ridwan,Ensiklopedi
Islam, vol, IV.(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,1993),hlm.344.
[21] Hawash Abdullah,Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya: Al-Ikhlas,
1980),hlm, 41.
[22]Lebih lengkap lihat Hawash
Abdullah,Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,(Surabaya:
Al-Ikhlas, 1980),hlm, 41-43
izin copas buat ngerjain tugas makalah kuliah.
BalasHapus